Senin, 26 Maret 2012

ASPEK HUKUM PERBANKAN DAN ASURANSI




ASPEK HUKUM PERBANKAN
KASUS PERBANKAN
Pembobolan  Citibank  Indonesia
Oleh: Munatsir Mustaman, IDM  *)

TERKAIT terungkapnya pembobolan dana nasabah bank di Citibank  Jakarta  dan berapa bank  lainnya oleh pihak Polri yang berjumlah miliaran rupiah, merupakan suatu kerja profesional dari Polri. Dalam hal ini Polri perlu mendapatkan apresiasi yang besar atas keberhasilannya membongkar kejahatan yang sangat besar tersebut. Terlepas dari keberhasilan Polri mengungkap kasus pembobolan dana nasabah Citibank, diharapakan Polri dalam mengungkap kasus pembobolan dana nasabah bank jangan hanya anget-anget tahi ayam saja. Namun, harus lebih menelusuri secara mendalam dan membongkar kasus ini secara transparan.
Pembobolan dana nasabah di Citibank bisa dijadikan whistleblower bagi terungkapnya  pencucian pencucin uang yang dilakukan di Indonesia, serta untuk menelurusi rekening gendut sejumlah petingi Polri yang sampai sekarang tak pernah terungkap secara terang benderang. Tidak hanya rekening gendut para petinggi Polri saja, tetapi pengungkapan kasus pembobolan dana nasabah di Citibank juga dapat mengungkap jajaran pegawai pajak  serta para pejabat pejabat negara yang banyak melakukan kejahatan korupsi dengan melakukan pencucian uang dengan menginvestasikan pada program-program reksadana seperti Citigold.

Pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang berdimensi internasional merupakan hal baru di banyak negara termasuk Indonesia. Sebegitu besar dampak negatif terhadap perekonomian suatu negara yang dapat ditimbulkannya, mendorong negara-negara di dunia dan organisasi internasional menaruh perhatian serius terhadap pencegahan dan pemberantasan masalah ini.
Pembobolan bank yang terjadi di Citibank dan terbunuhnya salah satu debitur  pemegang kartu kredit  Citibank akan berpontensi membuat image wajah perbankan Indonesia tercoret di mata internasional. Karena itu, Bank Indonesia juga harus  lebih bisa  meningkatkan pengawasannya  terhadap bank-bank yang beropersai di Indonesia. Jika terus membandel, cabut saja ijin operasinya, meski terhadap bank sekelas Citibank  milik perusahaan Amerika Serikat yang merupakan bank berkelas internasional.

Bank Indonesia pun tidak boleh terkecoh atau takut menegur dan memberikan hukuman  dan harus  lebih mengawasi secara ketat. Karena justeru bank-bank berkelas internasional  dan multinasioanl lah yang sering banyak melakukan pencucian uang  hasil kejahatan korupsi dan narkotika di berbagai negara. Pasalnya, dengan bank yang banyak mempunyai jaringan di berbagai negara  dan  bertaraf internasional, pencucian uang  akan sangat mudah dilakukan oleh bank tersebut karena akan berlaku etika tahu sama tahu.

Selain itu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Harus berani dan tidak sungkan-sungkan untuk membuka sumber-sumber dana yang dialirkan ke Citibank yang ditangani oleh si pembobol seksi Melinda dee  untuk kepentingan investasi di Citigold.  Sebab, PPATK memiliki kewenangan untuk melaksanakan kebijakan pencegahan dan pemberantasaan pencucian uang sekaligus membangun rezim anti pencucian uang di Indonesia.

Dengan keberanian PPATK mengungkap aliran-aliran dana yang diduga dibobol oleh Melinda Dee, tentunya saja akan sangat membantu dalam upaya menjaga stabilitas sistem keuangan  di Indonesia dan menurunkan terjadinya tindak pidana asal (predicate crimes), serta memudahkan institusi penegak hukum untuk mengungkap dana-dana hasil korupsi yang raib bagai ditelan bumi.

Dengan terungkapnya pembobolan dana nasabah di Citibank dan beberapa bank di Indonesia Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga harus aktif dan turut terlibat dalam investigasi yang dilakukan Polri. Siapa tahu diantara dana yang dikelola oleh Melinda Dee di Citibank adalah merupakan hasil kejahatan korupsi dan rekening gendut petinggi-petinggi Polri, mafia  pajak dan pejabat-pejabat negara yang korup serta uang milik mafia-mafia hukum yang jual beli kasus, atau jangan-jangan ada dananya Gayus Tambunan. (***)

*) Munatsir Mustaman, Direktur Eksekutif Indonesia Development Monitoring (IDM)
Kamis, 07/04/2011 19:18 WIB
Nasabah Kaya Malinda Dee (5)
Dradjad Wibowo: Agak Susah Dilogika Malinda Kerja Sendiri
M. Rizal – detikNews
Dradjad Wibowo: Agak Susah Dilogika Malinda Kerja Sendiri


Jakarta

– Inong Malinda Dee, kini menjadi perempuan yang popular di Indonesia, karena berhasil menilap uang nasabah private banking Citibank senilai Rp 17 miliar dan membeli lima mobil mewah di dunia ini. Tentunya, praktek penilapan uang yang katanya milik 400 nasabah ini dilakukan dengan rentang waktu yang tak begitu lama dan posisi jabatannya di Citibank yang bukan top manager menjadi tanda tanya.


“Kalau melihat rentang waktu terjadinya kasus ini, kemudian juga melihat harus adanya otoritas yang cukup rapi, harus ada pengawasan. Logika saya agak susah menerima bahwa itu dikerjakan sendirian,” kata pengamat perbankan, Dradjad Wibowo.


Oleh karena itu, Dradjad yang mantan anggota DPR ini meminta pihak kepolisian untuk menyelidiki lebih kemungkinan adanya orang di belakang Malinda ini. Bahkan, Bank Indonesia juga harus segera menerjunkan tim investigasi guna memeriksa kemungkinan adanya pelanggaran secara sistemik di bank bersangkutan dan bank-bank lainnya.


Hanya saja, baik kepolisian dan BI diminta Dradjad tidak hanya memperhatikan kasus Malinda Dee yang eksentrik itu. Tapi polisi dan BI harus juga melakukan penyelidika atas banyaknya kasus kehilangan uang milik nasabah kecil ketika mengambil uang di Anjungan Tunai Mandiri (ATM), karena kasus ini paling banyak laporannya.


Berikut wawancara detikcom dengan Dradjad Wibowo yang juga Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Partai Amanat Nasional (DPP PAN) di Jakarta, Rabu (6/4/2011).


Bagaimana tanggapan Anda melihat kasus penilapan uang nasabah Citibank oleh

Malinda Dee ini?


Kalau melihat dari sisi banknya itu berarti ada yang salah dari sistem internal bank tersebut, karena di bank itu memang selalu ada godaan bagi pegawai bank untuk mencuri uang nasabahnya. Tapi dengan pengawasan yang berlapis itu sebenarnya bisa dicegah. Pengawasan internal, apalagi seperti private banking, itu kan nasabah prioritas atau premium, selain kemudahan itu juga soal keamanan. Jadi ada tiga yang dijual Private Banking, mudah dan gampang, mudah dan kenyamanan yang dilayani seperti raja. Yang umum layanannya adalah melayani dengan sistem yang terbaik, makanya sistem keamanan tinggi.

Kalau ini terjadi selama beberapa tahun, artinya ada yang tidak masuk di akal
bagai para praktisi perbankan atau orang seperti saya. Itu ada yang tidak masuk akal bisa terjadi beberapa tahun seperti itu. Harusnya setiap transaksi itu harus ada otorisasinya. Ini proses otorisasinya kok bisa menyebabkan uang nasabah bisa beralih tanpa otorisasinya bisa terjadi seperti di Citibank. Kalau terjadi di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) atau bank ecek-ecek, mungkin orang tak perlu pertanyakan. Jadi ada sesuatu yang salah yang sulit dipahami dengan logika normal.


Mengapa nasabah private bank begitu mudah tertipu?


Kalau nasabahnya yang prudent (bijaksana) tentunya tidak akan mudah tertipu. Artinya, nasabah itu oke menerima pelayanan yang istimewa, yang benar, menerima kemudahan dan sebagainya. Akan tetapi dia tetap berhati-hati dalam mengelola asetnya. Apakah asetnya akan dikembangkan ditempatkan di investasi atau kapan mau ditempatkan di mana, dia akan hati-hati.

Nah, kalau dia tidak bijaksana itu membuka peluang bagi orang untuk mengambil uang nasabah. Ketidakbijaksanaan nasabah ini tentunya bisa macam-macam, apa itu karena sudah terlalu percaya, tidak mau repot dan sebagainya.


Siapa saja yang bisa menjadi nasabah private banking ini?


Kalau syaratnya itu, hampir semua bank itu sama, syaratnya itu harus memiliki minimal aset uangnya di atas Rp 500 juta. Akan tetapi ada juga yang memberikan pelayanan untuk mereka yang memiliki aset uang Rp 1 miliar. Tapi kebanyakan di atas Rp 500 juta. Nah, dalam kasus Malinda Dee ini saya harus klarifikasi dahulu nasabah ini syaratnya seperti apa.


Apakah pelayanan private banking bisa dimanfaatkan para koruptor atau pelaku kejahatan lainnya seperti money laundering?


Jangankan private banking, semua pelayanan perbankan itu bisa dipakai untuk hal-hal negatif seperti itu. Kan ada layanan private banking dan ada cash management dan wealth management, itu semua itu bisa dipakai untuk kejahatan. Jadi jangankan private banking yang lebih longgar, tapi yang lain-lain juga bisa dipakai, termasuk transaksi di saham juga dipakai money laundering.


Dalam kasus Malinda Dee ini ada tidak orang yang membantu di belakangnya?


Itu tadi, kalau melihat rentang waktu terjadinya kasus ini, kemudian juga melihat harus adanya otoritas yang cukup rapi, harus ada pengawasan. Itu logika saya agak susah menerima itu dikerjakan sendirian. Saya berharap, kepolisian tidak berhenti pada Malinda Dee saja.

Jadi sekarang ini yang perlu dilihat oleh kepolisian atau Bank Indonesia (BI), apakah kejadian ini terbatas pada personal tertentu saja atau agak sistemik di bank tersebut, maksudnya ada pihak-pihak lain yang terkait. Apakah itu terkait entah ikut ikut kejahatan atau kelalaian. Bisa saja orang yang harusnya melakukan pengawasan, tapi lalai dan percaya saja, akhirnya terjadi pelanggaran seperti itu.

Tapi bisa saja mereka bagian dari sindikat, ini yang saya rasa jadi pekerjaan rumah (PR) bagi kepolisian. Sementara BI juga segera menurunkan tim pemeriksa pada sistem perbankannya. Kalau tidak ini akan menjadi preseden yang buruk bagi bank-bank lainnya dan melakukan hal yang sama.


Lazim tidak apa yang dilakukan Malinda ini dengan gaya hidup mengoleksi lima mobil yang tergolong mewah di dunia?


Memang di posisinya dia itu kalau bekerja 20 tahun kerja tidak mungkin jadi sekaya itu. Ya bandingannya ini saja, bandingkan dengan Agus Marto, Sigit Pramono, Sofyan Basyir itu kan banker-bankir top di Indonesia, itu mereka juga tidak sekaya itu dengan mengoleksi mobil-mobil mewah.

Ya kalau saya ditanya apakah ada orang di belakangnya saya kurang bagus untuk berbicara seperti itu, karena harus melihat berita acara pemeriksaan (BAP) dahulu. Tapi itu sangat memungkinkan.


Kasus seperti ini apakah ada sanksi dari Bank Indonesia?


Itu wajib hukumnya. Sanksinya itu harus proporsional dalam arti jangan terlalu berat, tapi juga jangan terlalu ringan. BI kan sekarang mengatakan akan menghentikan menerima nasabah CitiGold. CitiGold itu kan hanya produk yang merupakan turunan dari kegiatan usaha tertentu yang diizinkan oleh BI. Jadi, saya rasa BI jangan hentikan CitiGold, tapi kegiatan usaha yang membuat produk ini dibekukan saja. Kalau sanksi BI terlalu ringan akan menjadi preseden buruk bagi bank lain. BI dianggap pilih kasih, karena bank asing yang ada di New York, Amerika Serikat kok sanksinya demikian, sehingga bank-bank lain akan tergoda melakukan hal yang sama, atau Malinda-Malinda lain akan tergoda melakukan hal yang sama.


Saya kira, BI bisa melakukan dua sanksi, yaitu memberikan sanksi yang sifatnya personal kepada orang yang terlibat dan sanksi secara institusional. Termasuk tadi membekukan usaha dan orang yang teribat kejahatan atau kasus itu dilarang untuk bekerja diperbankan. Nah orang-orang yang tidak terlibat tapi lalai dalam tugas perlu disuspen beberapa lama bekerja sebagai banker. Kalau itu tidak dilakukan tidak aka nada efek jera. Ini untuk kasus Malinda. Nah untuk kasus debt collector juga harus ada sanksi yang proporsional juga.


Apa yang harus diperbaiki dalam dunia perbankan agar kasus Malinda tak terulang lagi?

Untuk kasus Malinda saya rasa, yang pertama BI mungkin perlu menerjunkan tim investigasi ke semua bank, bukan hanya Citibank, untuk melihat bagaimana pengamanan dalam pelayanan private banking. Dengan begitu, BI bisa mendeteksi lubang-lubang kelemahan yang ada di semua bank, karena semua bank punya private banking dan Wealth Management. Terutama yang paling agresif bank-bank yang dimiliki asing, atau bank-bank nasional yang dimiliki asing.


Kedua, kasus Malinda itu ramai karena yang terkena itu besar-besar. Jadi seluruh unsur menariknya berita itu ada. Mulai dari penampilan Malinda, mulai kekayaan Malinda, mengenai pejabat yang kena tipu, itu semua menjadi berita besar ada di situ. Tapi sebenarnya kejadian seperti ini di nasabah-nasabah kecil itu banyak sekali. Banyak ATM-ATM nasabah kecil yang kehilangan Rp 100 ribu, Rp 1 juta dan Rp 2 juta dan macam-macamlah kejadian seperti itu terjadi.


Makanya BI perlu juga responsif terhadap kasus yang kecil-kecil ini, karena ini paling banyak. Ini yang perlu diinvestigasi, karena bisa saja orang memainkan masa jeda dalam transaksi ATM, dia mainkan lalu diambil. Apalagi sekarang ada pelayanan Internet Banking, e-Banking, dan semua itu sangat rawan terhadap pembobolan. Kita ingat kasus pembobolan ATM beberapa waktu lalu. Ini perlu diperhatikan, karena laporan tentang kasus ini lebih banyak dibandingkan kasus Malinda. Kasus ini memang jadi mengalahkan kasus Gayus.


Ketiga, BI perlu mewajibkan bank untuk memberikan laporan secara aktif mengenai mutasi dan saldo dari nasabah. Kalau di negara-negara maju itu kita dikirimi tanpa diminta tentang jumlah saldo dan sebagainya. Memang ini berat karena jumlah nasabah kita banyak sekali, kalau di Singapura itu hanya beberapa juta, di AS puluhan juta, jadi ini agak memberatkan bank. Tapi perlu dikaji bagaimana caranya supaya bank itu lebih proaktif menyampaikan informasi rekening dan saldo nasabah.


Keempat, untuk para nasabah yang besar atau kecil, saya sarankan kita harus menjadi menjadi nasabah yang prudent dan rajin-rajin mengecek saldo di rekeningnya. Lalu yang penting jangan tergiur dan tergoda dengan janji-janji apalagi dengan penampilan cantik atau ganteng. Karena kadang-kadang kita lebih lunak dengan orang yang berpenampilan cantik dan ganteng, sehingga sensor kewaspadaan sebagai pemilik uang itu jadi longgar.

(zal/vit)

ba
ca Juga :


Nasabah Kaya Malinda Dee (1)

Dana Haram atau Sekadar Tak Mau Repot

Jakarta Setelah Artalyta Suryani bebas bersyarat pada akhir Januari lalu, kini dunia kriminal Indonesia mempunyai bintang baru: Inong Malinda alias Malinda Dee (47). Inilah perempuan paling populer saat ini, tak kalah populer dengan Artalyta pada saat kasusnya ditangani KPK.

Keduanya sama-sama perempuan cantik, selalu berpenampilan menarik, dengan pakaian dan asesori bermerk. Banyak melakukan kegiatan luar rumah, selain mengurus bisnis. Orang kota bilang, mereka adalah sosialita. Tapi popularitasnya melejit akibat ulah kriminal.

Artalyta ditangkap petugas KPK pada saat menyogok jaksa. Perempuan ini tengah membantu bos Gajah Tunggal, Sjamsul Nursalim, dari jeratan tuduhan menilep dana bank.

Sementara Malinda ditangkep polisi lantaran menilep dana nasabah bank. Tak tanggung-tanggung, Malinda Dee diduga telah menilep uang nasabah private Citibank sebesar Rp 17 miliar.

Malinda adalan senior relationship manager Citibank Cabang Landmark, Jakarta Selatan. Tugas utamanya adalah melayani nasabah private banking. Ini adalah jenis nasabah kaya, yang mendapat pelayanan khusus karena menyimpan uang di bank minimal Rp 500 juta.

Pelayanan khususnya itulah yang membuat banyak nasabah percaya begitu saja kepada Malinda untuk mengelola dananya. Semua transaksi diserahkan sepenuhnya sama Malinda. Rupanya Malinda menyalahgunakan kepercayaan nasabah ini. Dia menilep dana nasabah dengan cara mengaburkan dan memalsukan bukti transaksi nasabah.

Korban Malinda diperkirakan mencapai ratusan orang karena dia sudah bekerja selama 20 tahun di Citibank dan menangani ratusan nasabah Citigold. "Dia punya 400 nasabah," kata Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Anton Bachrul Alam.

Namun hingga kini baru 3 orang nasabah yang melapor ke polisi. Ketiga korban ini sudah diperiksa, rekeningnya sudah dibuka, dan dicek transaksi per transaksi dari rekening tersebut. Masing-masing tiga nasabah itu diketahui tidak hanya memiliki satu rekening.

Berdasarkan perhitungan sementara, total kerugian 3 nasabah tersebut mencapai Rp 16,638 miliar. Rinciannya, nasabah pertama mengalami kerugian sekitar Rp 10 miliar karena adanya transaksi mencurigakan pada 6 Januari 2011. Nasabah kedua, mengalami kerugian Rp 4,7 miliar dan US$ 10.100. Nasabah ketiga menderita kerugian Rp 311 juta.

Jika melihat gaya hidup Malinda, uang hasil tilepan dana nasabah tentu tidak sedikit. Dia memiliki beberapa mobil mewah Ferrari dan Mercy, juga beberapa rumah dan apartemen mewah. Kalangan internal Citibank yang mengetahui gaya hidup dan pekerjaan Malinda, menduga dia tak hanya menilep dana dari 3 nasabah. Banyak nasabah lain yang kena.

Lalu, kenapa dari ratusan nasabah, hanya 3 orang yang melapor ke polisi? Apa yang membuat para nasabah Malinda itu tidak segera melapor ke polisi?

Kemungkinan pertama, karena nasabah private banking adalah orang-orang kaya, bisa jadi mereka malu namanya disebut sebagai korban penipuan. Mereka juga tak mau ribet berurusan dengan polisi.

Kemungkinan kedua, bisa saja para nasabah ini adalah orang-orang yang memiliki dana gelap sehingga mereka takut kejahatannya terbongkar bila melapor.

Kecurigaan atas nasabah Malinda merupakan pengumpul uang haram ini, misalnya disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi XI DPR, Achsanul Qosasi. Menurut Achsanul, ada potensi pidana money laundering yang dilakukan nasabah bermasalah.

"Mengenai money laundering harus diwaspadai secara tertib. Harus dipastikan nasabah sudah mengisi formulir khusus utamanya yang di atas Rp 100 juta. Formulir tersebut masuk ke PPATK, jadi seharusnya terdeteksi apakah nasabah Malinda bermasalah," tandas Achsanul.

Sementara itu, berembus kabar bahwa Malinda Dee memiliki nasabah sejumlah petinggi Polri. Hanya gara-gara simpanan Citigold seorang jenderal polisi jebol, maka kasus penipuan ini jadi urusan polisi. Tersebutlah nama perwira tinggi polisi itu, Budi Gunawan.

Tetapi Anton menepis kabar itu. "Pak Budi tidak mempunyai tabungan dan rekening di Citibank. Apalagi kenal dengan Malinda. Tidak kenal sama sekali," tegas Anton.

Dengan dalih menjaga kerahasiaan bank, polisi memang harus melindungi nama pemilik rekening. Namun jika polisi menemukan petunjuk dan bukti bahwa sejumlah nasabah memiliki dana haram atau didapatkan dengan cara melanggar hukum, maka dalih kerahasiaan bank itu tidak berlaku lagi. Di sinilah pentingnya polisi kerjasama dengan PPATK.

 
ASPEK HUKUM ASURANSI
KASUS ASURANSI


PENDAPAT SILANG DI AKHIR TAHUN 2011

Ada sebuah Marine Cargo Open Cover (MCOC) menjamin secara co-asuransi pengiriman berbagai jenis barang (general cargo) kebutuhan dan hasil produksi usaha Tertanggung baik secara impor maupun ekspor. Penanggung terdiri dari satu lead-coinsurer bersama tiga kawannya sebagai member-coinsurer. Luas jaminan adalah All Risks dan semua syarat dan ketentuan (T&C) dirinci secara jelas di dalam MCOC. (Sesungguhnya polis ini adalah sebuah Marine Cargo Floating Cover tetapi secara salah kaprah disebut Marine Cargo Open Cover).
Suatu ketika, Tertanggung mendeklarasikan pengiriman beras (di dalam karung) seharga US$ 5 juta dari sebuah pelabuhan di Vietnam ke Surabaya. Disebutkan juga di dalam deklarasinya itu, nama kapal pengangkut, tanggal loading sedangkan tanggal berangkatnya akan menyusul (tba). Pada hari yang sama lead co-insurer menerbitkan Cover Note dengan menyebutkan semua data yang dideklarasikan Tertanggung. Dua minggu kemudian Tertanggung memberitahukan kepada lead co-insurer bahwa proses loading telah selesai dan kapal  akan bertolak dari pelabuhan di Vietnam tanggal 25 Agustus 2008. Pada hari yang sama lead co-insurer menerbitkan Certificate of Insurance (COI) dengan mencantumkan semua data yang dideklarasikan.

Pada hari kedua pelayarannya, kapal pengangkut bertabrakan dengan sebuah kapal container yang mengakibatkan lambung kapal pengangkut terkoyak dan beras di dalam karung-karung rusak digenangi air laut yang masuk ke dalam lambung kapal pengangkut. Tertanggung segera melaporkan peristiwa ini kepada lead co-insurer yang juga segera menunjuk surveyor dan loss adjuster yang nama-namanya telah terdaftar di dalam MCOC. Laporan Survey dan Loss Adjuster mengonfirmasi bahwa peristiwa ini dijamin MCOC dengan nilai kerugian total loss sebesar US$ 5 juta.

Setelah mengetahui peristiwa tabrakan ini, lead co-insurer menyadari bahwa usia dan tonase kapal pengangkut tidak memenuhi syarat untuk mendapat jaminan sebesar US$ 5 juta, melainkan hanya sebesar US$ 4 juta saja dan oleh karena itu, segera menerbitkan endorsement untuk membetulkan jumlah pertanggungan menjadi US$ 4 juta dan mengirimkannya kepada Tertanggung. Tertanggung tidak mau menerima dan mengembalikan endorsement ini kepada lead co-insurer. Lead co-insurer terpaksa menerima penolakan ini lalu menerbitkan endorsement kedua untuk mengembalikan jumlah pertanggungan menjadi US$ 5juta lagi. Endorsement kedua ini tidak dikirimkan kepada Tertanggung. Lead co-insurer mengakui liability dan meminta norek bank Tertanggung untuk melakukan pembayaran klaim yang menjadi bagiannya. Sementara itu, lead co-insurer mengirim DLA kepada para member co-insurer yang mencantumkan jumlah klaim 100% sebesar US$ 5 juta tetapi kemudian mengirim DLA (Revised) untuk membetulkan jumlah klaim menjadi US$ 4 juta.

Dua dari tiga member co-insurer mengakui dan membayar klaim sebesar kepesertaannya dari total klaim 100%  sebesar US$ 4 juta dan menolak membayar bagiannya untuk sisa klaim sebesar US$ 1 juta. Tertanggung berulang kali meminta agar dua member co-insurer ini membayar sisa klaimnya tetapi selalu ditolak, sehingga timbul sengketa dan atas persetujuan Tertanggung dan kedua member co-insurer sengketa ini dimohon penyelesaiannya kepada sebuah Majelis Arbitrase Ad-Hoc.

Setelah melalui semua prosedur berarbitrase, Majelis Arbitrase Ad-Hoc memutuskan bahwa kedua co-member harus membayar bagian mereka masing-masing atas klaim sisa sebesar US$ 1 juta, namun keputusan ini hanya didukung oleh dua arbiter sedangkan seorang arbiter lagi memberikan pendapat silang (dissenting opinon). Walaupun demikian keputusan ini sah, final dan mengikat para pihak karena ketentuan Perjanjian Penyelesaian Sengketa Melalui Majelis Arbitrase Ad-Hoc yang ditanda tangani Tertanggung dan para Member co-insurer menyatakan bahwa jika terjadi perbedaan pendapat di antara para arbiter, maka keputusan diambil berdasarkan pendapat suara terbanyak (voting).

Apa yang menarik?

Hal yang menarik ialah adanya pendapat yang berbeda di antara para arbiter.
Mayoritas arbiter berpendapat bahwa dengan diterbitkannya Cover Note dan COI oleh lead co-insurer, maka berdasarkan insurance best practice in Indonesia lead co-insurer dianggap telah menyetujui untuk menjamin pengiriman barang yang dideklarasikan Tertanggung dengan jumlah pertanggungan sebesar US$ 5 juta, walaupun usia dan  tonase kapal pengangkut tidak memenuhi syarat MCOC untuk mendapat jaminan sebesar US$ 5 juta. Dan berdasarkan ketentuan Co-insurance Clause – angka 3,  keputusan lead co-insurer untuk memberi jaminan asuransi dengan nilai US$ 5juta harus diikuti oleh para member co-insurer.

Sebaliknnya minoritas arbiter, dengan argument yang cukup panjang,  pada intinya berpendapat bahwa pada sebuah perjanjian marine insurance berdasarkan MCOC Tertanggung berkewajiban untuk memberitahukan kepada Penanggung mengenai usia dan tonase kapal pengangkut dan oleh karena Tertanggung telah lalai melakukan kewajibannya ini, maka ia tidak berhak atas ganti rugi sebesar nilai yang dinyatakan di dalam Cover Note maupun COI. Ia juga berpendapat bahwa Co-insurance Clause yang terdiri dari empat alinea itu tidak dapat dibaca secara sendiri-sendiri melainkan secara keseluruhan, maka keputusan lead co-insurer yang salah tidak harus diikuti para member co-insurer.




 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar